Hasan, Moh. Abdul Kholiq and Mujahid, Dhestina religia and Hikmawati, Ari and Hardew, Ayatullah Kutub (2023) MEMAHAMI RELASI SOSIAL ANTAR UMAT BERAGAMA PELAJAR SMA BOARDING SCHOOL DI SOLORAYA. Historical Thought and Source Interpretation (HTS), 79 (5). ISSN 2072-8050 (Unpublished)
Text
MEMAHAMI RELASI SOSIAL ANTAR UMAT BERAGAMA PELAJAR.pdf Download (992kB) |
Abstract
Pembahasan terkait dengan hubungan antar kelompok menjadi topik yang saat ini cukup menarik untuk diperbincangkan. Segregrasi antara ingroup dan outgroup menjadi hal yang paling sering dibahas karena setiap individu memiliki kecenderungan akan menganggap kelompok sendiri lebih baik (ingroup favoritism) dan kelompok lain (outgroup) subordinat (outgroup derogation) (Tajfel & Turner, 1979). Jika hal ini dibiarkan tanpa dilakukan intervensi, maka dapat mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan keragaman kelompok, seperti agama dan etnis. Soloraya menjadi salah satu kota dengan keragaman agama dan etnis. Data dari Anggarani (2016) mencatat etnis yang tinggal di Soloraya seperti Tionghoa, Arab, Banjar, Madura, dan masih banyak lagi. Berdasarkan data statistik dari Pohl (2015), tiga etnis terbesar yang tinggal di Surakarta adalah Jawa (94 persen), disusul dengan etnis Tionghoa (3.5 persen), dan Arab (0.7 persen). Etnis Tionghoa dan Arab yang hidup terpisah dari etnis Jawa pada akhirnya menambah segregrasi dan perbedaan diantara ke tiga etnis tersebut (Anggarani, 2016). 2 Konteks utama dalam penelitian ini adalah Soloraya karena Soloraya memiliki sejarah tersendiri terkait dengan relasi antar kelompok, terutama relasi antar etnis. Prihartanti dan Thoyibi (2009) mencatat kronologis konflik antar etnis yang terjadi sejak sebelum kemerdekaan hingga kemerdekaan. Dimulai dengan terjadinya perampasan 615 dan 4.977 pencurian ternak pedagang Tionghoa tahun 1905-1913. Tahun 1911 terjadi pemboikotan, perkelahian, dan kerusuhan anti Tionghoa saat pendirian Syarikat Islam (SI). Tahun 1947-1948 terjadi penyerangan etnis Tionghoa di Jatinom Klaten oleh Laskar Rakyat dan menyebabkan 60 orang terbunu. Korban lain dari aksi tersebut pada akhirnya mengungsi ke Surakarta dan kota-kota sekitarnya. Isu yang tengah hangat diperbincangkan tidak hanya terkait dengan relasi antar etnis semata, tetapi relasi antar umat beragama. Isu agama menjadi isu yang cukup sensitif untuk dimainakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk memecah belah umat dan persatuan antar anak bangsa. Identitas keagamaan dan identitas nasional (dalam hal ini disimbolkan dengan Pancasila) menjadi hal yang saling dipertentangkan. Mahfud (2009) mengungkapkan bahwa hubungan antara Pancasila dan agama memiliki ketegangan yang paling permanen dibandingkan hubungan antara Pancasila dengan etnis dan kesukuan. Lebih lanjut Mahfud menyampaikan bahwa keduanya seolah memperebutkan pengikut. Padahal sejatinya keduanya saling membutuhkan dan dapat saling mengisi. Pancasila membutuhkan agama untuk memperkaya kedalaman makna hidup dan sebagai jawaban atas masalah yang berkaitan dengan beyond realtiy seperti penjelasan tentang kematian dan kehidupan setelahnya. Sebaliknya agama membutuhkan Pancasila untuk mempertemukan nilai-nilai universal yang ada yang ada dalam seluruh agama seperti keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian. Agama tanpa Pancasila akan membentuk generasi separasi yang dapat mengancam keutuhan NKRI (Ridwan, 2013) karena pada dasarnya Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama saja, melainkan berbagai agama yang harus dipersatukan oleh Pancasila. Dimaksudkan dari istilah Soloraya adalah wilayah yang meliputi kotamadya Surakarta, kabupaten Sragen, Karangayar, Boyolali, Klaten, Wonogiri dan Sukoharjo. Wilayah ini selain dikenal dengan multi budaya, etnis, dan agama (Baidi, 2010), juga dikenal dengan kota bersumbu pendek (Hakim, 2020). Berbagai kejadian yang bernuansa kekerasan dan intoleran sering terjadi antar kelompok masyarakat (Detikcom, 2020; Rey, 2020). Baik kekerasan yang dipicu oleh kelompok agama ataupun politik 3 (Anwar et al., 2021). Bahkan Solo dianggap sebagai salah satu wilayah yang memiliki sejarah konflik multidemensi (Baidhawy, 2019; Joebagio, 2016). Pemilihan pelajar SMA dalam penelitian ini bukan tanpa maksud. Jika dilihat dari fase perkembangan manusia, pelajar dikategorikan sebagai remaja. Remaja yang sedang mencari identitas diri (Santrock, 2007), senang mencoba hal baru (Sarwono, 2012a), serta lebih membuka pertemanan dengan peergroup daripada orangtua mereka (Santrock, 2014b). Dikhawatirkan remaja dapat dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk terlibat dalam aksi kekerasan, bahkan teror. Mujahid, Lilik, dan Hakim (2014) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa remaja rawan terekrut kelompok teror karena beberapa hal di atas. Remaja akan didoktrin untuk menjadi pribadi eksklusif dan menganggap ingroup paling benar. Outgroup akan dipersepsikan sebagai ancaman dan harus dimusuhi (Sarwono, 2012b). Hal ini dibenarkan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) yang menyatakan bahwa 52% pelajar setuju dengan tindak radikalisme (Setyawan, 2019). Masih dalam survey yang sama, 52,3% siswa setuju untuk menggunakan kekerasan untuk membela agama; 14,2% dari mereka membenarkan serangan bom, bahkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan bahwa Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi bangsa. 84,8% siswa dan 76,2% guru lebih menyutujui penerapan syari’at Islam di Indonesia. Riset ini dilakukan tahun 2010-2011 dan perlu menjadi perhatian bersama. Fokus penelitian ini adalah pada pelajar SMA boarding school se-Soloraya. Karena mereka masih dikategorikan sebagai pelajar yang sedang berada dalam tahap pencarian jati diri, senang mencoba hal baru, dan sedang membangun relasi pertemanan lebih luas lagi daripada jenjang pendidikan sebelumnya. Selain itu, BNPT dalam studi longitudinal mereka antara tahun 2014-2020 yang menunjukkan bahwa pelaku terorisme sebanyak 47,3% berasal dari kalangan remaja (unkris.ac.id, 2021). 63,6% di antara mereka memiliki tingkat pendidikan sekolah menengah atas dengan pola-pola perekrutan melalui sekolah dan kampus. Penelitian lain dilakukan oleh Ma’arif Institute pada Oktober hingga Desember 2017, diantaranya menunjukkan adanya komunitas eksklusif dalam bentuk kajian pemahaman keislaman pada pelajar SMA di Solo (Bbc.com, 2018). 4 Selain alasan akademik di atas, SMA dengan sistem boarding school adalah sebuah sistem pendidikan yang mirip dengan pesantren, walaupun tidak sama (Muhamad, 2018). Akhir-akhir ini pendidikan sistem pesantren atau boarding school secara umum dicurigai atau disinyalir menjadi tempat subur penyebaran paham radikal (Zakariyah et al., 2022). Bahkan BNPT sempat melansir, sebelum akhirnya diralat (Putra, 2022), bahwa sejumlah pesantren diduga terafiliasi dengan kelompok teror (Detikcom, 2022). Di antara alasan kecurigaan tersebut adalah adanya potensi hidden curriculum yang disampaikan oleh sebagian pengajar yang memiliki kecenderungan paham radikal-ektrim (Malik et al., 2020). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai upaya pembuktian dan konfirmasi riset-riset dengan tema sejenis, yaitu untuk mengetahui relasi antar umat beragama pada pelajar SMA boarding school di Solo Raya. Hasil yang akan didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran relasi antar umat beragama pelajar SMA boarding school. Relasi antar umat beragama yang baik menunjukkan bahwa individu adalah pribadi yang toleran dan inklusif. Sedangkan jika hasil uji menunjukkan relasi antar umat beragama yang buruk, maka dapat disimpulkan bahwa remaja dapat dikategorikan sebagai pribadi intoleran terhadap outgroyp dan eksklusif. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran dan acuan bersama dalam pembuatan kebijakan dan intervensi relasi antar umat beragama, khususnya bagi pelajar SMA boarding school se-Soloraya. Segregasi antar kelompok yang tidak segera teratasi dengan baik akan semakin memperkeruh kondisi sosial bermasyarakat dan keutuhan bangsa. Hal ini juga dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk semakin memperkeruh suasana, salah satunya dengan menyebarkan bibit-bibit radikal dan teror. Oknum ini biasanya akan membangun narasi bahwa pemerintah tidak kompeten dalam mengurus negara dan rakyatnya; pemerintah melakukan kedzoliman dengan memperkaya diri dan kelompoknya saja; serta narasi-narasi lain untuk semakin memisahkan memberi ruang jarak antara pemerintah dan rakyatnya (Hannani, Aminah, & Firman 2018; Sarwono, 2012). Kaum remaja yang identik dengan individu pencari jati diri akan sangat riskan jika didoktrin pemahaman ini (Milla et al., 2013; Mujahid, Lilik, & Hakim, 2014). Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk mengetahui lebih dalam (in depth) hubungan 5 interpersonal, dalam hal ini adalah relasi sosial kaum muda dengan outgroup sebagai gambaran hubungan relasi antara keduanya. Penelitian ini menjadi penting untuk diteliti karena pelajar SMA yang notabene merupakan kaum muda adalah penggerak kemajuan suatu bangsa. Jika pemuda memiliki kemampuan interpersonal yang baik, berpandangan keagamaan moderat, mampu menghargai outgroup, dan memiliki pola pikir yang terbuka terhadap perubahan, maka niscaya Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang hebat dan kokoh. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran terkini paham keagamanan pelajar SMA boarding school di Soloraya, terkait relasi sosial antar pemeluk agama. Selanjutnya dapat disusun sebuah formula yang tepat untuk meningkatkan kemampuan pelajar dalam membangun relasi dengan outgrup, terutama dengan orang lain yang berbeda agama dengannya. Penelitian ini juga diharapkan menjadi police brief dalam merumuskan moderasi beragama terkait pola relasi sosial yang inklusif dan toleran bagi pelajar SMA boarding school di Soloraya. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan menjawab bagaimana gambaran relasi antar agama pada pelajar SMA boarding school di Soloraya? Sebelum penelitian ini, terdapat beberapa penelitian sejenis terkait moderasi dan relasi antar umat beragama pada pelajar, diantaranya: Penelitian Yusup, (2018), berjudul “Eksklusivisme Beragama Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Yogyakarta”. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa eklusivesme beragama pada JSIT, terlihat dari empat hal: pemahaman agama yang tektualis; Islam adalah satu-satunya jalan kebenaran; anti sekularisasi; percaya adanya konspirasi musuh. Penelitian berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, selain pada objek, juga tujuan peneletian. Berikutnya, penelitian oleh Sulaeman et al., (2021), berjudul “Internalisasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di SMAN 1 Rajagaluh Kabupaten Majalengka”. Sulaeman et al., (2021) menyimpulkan bahwa internalisasi moderasi beragama di Di SMAN 1 Rajagaluh Kabupaten Majalengka, dilakukan dengan pengembangan dan pembiasaan sikap siswa serta teladan dari guru melalaui berbagai kegiatan penunjang. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan baik terkait lokasi penelitian juga tujuan penelitian. 6 Selanjutnya penelitian oleh Fuadi, (2021), dengan judul “Ketahanan Moderasi Beragama Mahasiswa di Tengah Melting Pot Gerakan Keagamaan di Surakarta”. Hasil penelitian menegaskana bahwa ragam latar belakang keagamaan Mahassiswa UIN Raden Mas Said Surakarta tidak menjadikan mereka otomatis radikal. Mereka tetap berpaham keagamaan moderat, terbuka dan toleransi. Penelitaan ini tertu berbeda dengan objek penelitian yang akan dilakukan yang mengfokuskan pada pelajar SMA. Penelitian lain oleh Zakariyah et al., (2022), dengan judul “Strengthening the Value of Religious Moderation in Islamic Boarding Schools”, menyimpulkan bahwa implementasi nilai-nilai moderasi pada pendidikan Islam di Pondok Pesantren Al-Fattah Siman Sekaran Lamongan dilakukan dengan menaamkan prinsip-prinsip paham ahlussunnah waljama’ah. Dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar, kegiatan spiritual keagamaan dan kegiatan penunjang ketrampilan. Penelitian Zakariyah et al., (2022), sekalipun terdapat titik temu dengan penelitian ini, namun berbeda dalam objek dan tujuan penelitian. Berdasarkan penelitian sebelumnya, sangat jelas posisi penelitian yang akan dilakukan ini, sekalipun terdapat beberapa titik temu dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini memiliki perbedaan baik berkaitan dengan fokus dan tujuan penelitian, informan, maupun pendekatan yang dipilih. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan relasi antar umat beragama pada pelajar SMA boarding school se-Soloraya.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | 100 Filsafat dan Psikologi > 150 Psychology > 153 Mental processes and intelligence |
Divisions: | Fakultas Ushuludin dan Dakwah > Psikologi Islam |
Depositing User: | dosen dosen |
Date Deposited: | 11 Apr 2023 05:55 |
Last Modified: | 12 Apr 2023 02:57 |
URI: | http://eprints.iain-surakarta.ac.id/id/eprint/5132 |
Actions (login required)
View Item |