STUDI KASUS PERAN BUDAYA KOLEKTIVIS DALAM UPAYA REINTEGRASI SOSIAL MANTAN TERPIDANA KASUS TERORISME DI INDONESIA

Mujahid, Dhestina religia (2023) STUDI KASUS PERAN BUDAYA KOLEKTIVIS DALAM UPAYA REINTEGRASI SOSIAL MANTAN TERPIDANA KASUS TERORISME DI INDONESIA. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 9 (3). ISSN ISSN 2541-450X (Unpublished)

[img] Text
PERAN BUDAYA KOLEKTIVIS.pdf

Download (809kB)
Official URL: https://journals.ums.ac.id/index.php/indigenous

Abstract

Terorisme merupakan masalah yang terus saja terjadi dan seolah tidak dapat terputus mata rantainya. Detasemen Khusus 88 Anti teror mengungkapkan terdapat 56 teroris yang ditangkap per bulan Maret 2022 (Ramadhan, 2022). Kasus yang belum lama terjadi adalah penangkapan tiga teroris di Bima, Nusa Tenggara Barat. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah dua dari tiga pelaku merupakan residivis (Alam, 2022). Penelitian Hakim dan Mujahid (2020) menunjukkan bukti bahwa salah satu faktor yang sangat penting untuk memutus mata rantai terorisme adalah penerimaan masyarakat pada mantan terpidana kasus terorisme. Hampir 10% mantan narapidana teroris telah menjadi residivis. Tepatnya terdapat 94 dari 825 mantan narapidana teroris telah mejadi residivis (IPAC, 2020). Angka ini tidak dapat disepelekan karena akan memberikan dampak signifikan, misalnya menjadi inspirasi bagi anggota kelompok untuk melakukan aksi serupa. Stigma yang pada akhirnya membuat mantan narapidana terorisme kesulitan untuk bersosialisasi, mencari pekerjaan, dan menemukan jodoh (Hakim & Mujahid, 2020). Hakim dan Mujahid (2020) dalam penelitiannya pada residivis teroris menunjukkan bahwa penolakan dari masyarakat membuat pelaku yang ingin hidup normal pada akhirnya terpaksa tergabung kembali pada kelompok lama. Hal ini terjadi karena penolakan masyarakat membuatnya mengalami kesulitan dalam bersosialisasi sedangkan kebutuhan untuk bersosialisasi menjadi kebutuhan dasar yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia. Hanya kelompok lama yang dapat menerimanya kembali. Kisah residivis yang tidak kalah memprihatinkan adalah kasus salah seorang mantan terpidana terorisme yang baru saja keluar penjara. Dia mendapat penolakan dari warga. Rumah kontrakannya dirusak dan dilempari batu padahal dia baru saja membayar uang kontrakan (Setyawan, 2021). Penolakan dari masyarakat ini membuat pelaku dendam dan pada akhirnya melakukan aksi teror kembali. Selama ini pemerintah Indonesia baik melalui BNPT maupun Densus 88 lebih berfokus untuk memberikan pendampingan pada pelaku teror dan keluarganya. Baik saat masih berada di dalam maupun ketika keluar penjara. 2 Misalnya dengan memberikan kemudahan akses dalam mengurus kartu identitas penduduk maupun memberikan bekal keterampilan usaha dan suntikan modal (Golose, 2014). Hal itu pula yang dilakukan oleh NGO. Masih belum banyak pihak yang mengedukasi masyarakat untuk mau menerima mantan terpidana kasus terorisme jauh-jauh hari sebelum mereka bebas (Setyawan, 2021). Padahal menurut Milla et al. (2020), hal yang diinginkan narapidana terorisme adalah dapat diterima, diakui, dihargai, dan dicintai oleh lingkungannya. Jika pelaku tidak menemukan hal tersebut dari masyarakat, maka dia akan mencarinya di tempat lain termasuk kelompok lama. Kruglanski et al. (2019) menungkapkan bahwa hal yang terjadi para pelaku teror yaitu keinginan untuk menjadi pribadi yang signifikan atau disebut dengan “quest for personal significance”. Kelompok teror dapat mengakomodir dan menjadikan pelaku berharga. Pelaku akan disematkan identitas sebagai seorang mujahid (Sarwono, 2012). Jihad sendiri memiliki kedudukan yang paling tinggi di dalam ajaran Islam (Imron, 2016). Jika untuk menjadikan diri tergabung dalam kelompok teror dilakukan dengan menjadikan pribadi lebih signifikan, maka hal ini pula dapat digunakan dalam rehabilitasi pelaku teror. Mantan terpidana terorisme yang diterima, dicintai, bahkan dijadikan sebagai pribadi yang signifikan dapat meningkatkan probabilitas rehabilitasi teroris. Tidak berbeda jauh dengan “quest for personal significance” dari Kruglanski et al., (2019), budaya juga bagai dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang. Salah satu sebab dalam peningkatan aksi terorisme di sebuah negara adalah karena faktor budaya. Namun di sisi lain, budaya memainkan peran penting dalam pembuatan program rehabilitasi teroris (Fink & Hearne, 2008). Gelfand et al. (2013) mengungkapkan bahwa penelitian yang ada selama ini hanya berfokus pada faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi yang memprediksi terorisme. Namun hingga saat ini hanya ada sedikit perhatian terhadap faktor budaya dan hubungannya dengan terorisme. Studi literatur yang ada selama ini terkait dengan budaya kolektivisme sebagai variabel moderator dalam peningkatan aksi terorisme di suatu negara 3 (Kruglanski et al., 2009). Penelitian tentang peran budaya kolektivis dalam peningkatan aksi teror telah dilakukan juga oleh Davis et al. (2009; Gelfand et al. (2013); Grace dan Frank (2019); serta Peterka-Benton dan Benton (2014). Peterka-Benton dan Benton (2014) mengungkapkan terorisme lazim terjadi di negara dengan budaya kolektivis. Walaupun tidak semua individu yang lahir dari budaya kolektivis akan menjadi teroris, tetapi mereka akan lebih mudah terpapar paham teror daripada masyarakat dari budaya individualis (Grace & Frank, 2019). Budaya kolektivis mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu, nilai-nilai kesetiaan, kehormatan, penghindara pada rasa malu, dan mengutamakan pendapat kelompok lebih berpengaruh terhadap perilaku individu. Masyarakat dalam budaya kolektivis cenderung mentransmisikan nilai-nilai sosial serta mengorbankan kepentingan diri demi masyarakat. Penelitian yang dilakukan Davis et al. (2009) menunjukkan bahwa prasyarat toleransi dan dukungan pada terorisme termasuk bom bunuh diri lebih tinggi terjadi pada masyarakat dengan budaya kolektivis. Hal itu karena sedari kecil, anak dididik untuk mempedulikan kelompok sosial daripada kepentingan pribadi. Narasi yang disampaikan oleh pemimpin kelompok bahwa terdapat ketidakadilan pada kaum muslimin dan kedzoliman serta penindasan dilakukan kepada saudara seiman, membuat pelaku teror tergugah untuk menolong dan berkontribusi dalam jihad (Kruglanski et al., 2014; Milla et al., 2013; Sarwono, 2012). Salah satu prinsip mereka adalah, “Wahai orang�orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (Q.S. Muhammad:7). Hal serupa juga disampaikan Gelfand et al. (2013) bahwa kasus terorisme lebih banyak terjadi pada negara dengan budaya kolektivis daripada negara di budaya individualis. Karena masyarakatnya dididik untuk menyerahkan diri dan tujuan pribadi sesuai dengan norma dan nilai kelompok serta bersaing dengan outgroup. Hal ini relevan terjadi pada pelaku teror. Mereka akan berusaha mengesampingkan tujuan pribadi seperti mencari jodoh dan berkarir demi mencapai tujuan kelompok. Selama ini tujuan pelaku teror di Indonesia 4 adalah menegakkan agama Allah dan mengganti dasar negara Pancasila menjadi dasar negara berlandaskan pada al-Qur’an dan hadist (Golose, 2014; Imron, 2010; Sarwono, 2012). Masyarakat kolektivis terbiasa terlibat dalam kepentingan dan masalah sosial. Mereka akan merasa terpanggil untuk berkomitmen dan ikut berjuang walaupun harus mengorbankan diri demi kebaikan kelompok. Pada dasarnya, di sisi lain budaya kolektivis juga memainkan peran penting dalam reintegrasi sosial dan rehabilitasi teroris. Intervensi dari Ruangobrol.id (dalam Setyawan, dkk., 2021) membuktikan bahwa kepedulian dari masyarakat sekitar membuat keluarga teroris menjadi sangat senang. Perangkat desa menginisiasi untuk bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti dengan BUMN dalam memberikan pelatihan dan bantuan modal usaha dengan menggunakan dana CSR. Istri teroris mendapatkan pelatihan keterampilan menjahit. Selain itu mereka juga mendapatkan bantuan mesin jahit dan mesin obras. Perangkat desa juga memberikan edukasi kepada warga untuk dapat merangkul istri teroris dan keluarganya. Beberapa warga bahkan membantu istri teroris untuk mendapatkan customer. Istri teroris dan keluarga merasa sangat terbantu dan terharu atas perhatian warga (Setyawan, 2021). Pada akhirnya mereka tidak takut lagi mendapatkan stigma negatif dan penolakan dari warga sekitar. Bahkan dari pelatihan yang dilakukan oleh Setyawan (2021) dibuktikan bahwa keluarga sepakat agar suami mereka tidak lagi terlibat dengan kelompok teror ketika nantinya bebas. Namun penelitian ini belum membahas terkait dengan peran budaya kolektivis pada target utama, yaitu mantan narapidana terorisme (napiter) dalam upaya reintegrasi dan rehabilitasi sosialnya. Sehingga belum dapat disimpulkan bagaimana peran budaya kolektivis dalam program reintegrasi sosial pelaku teror. Penelitian dengan tetap melibatkan peran budaya perlu untuk dilakukan karena menurut Fink dan Hearne (2008), pembuatan kebijakan rehabilitasi teror akan efektif jika tetap mempertimbangkan faktor budaya masyarakat setempat. Karena bagaimanapun, individu hidup dipengaruhi oleh budaya dan 5 lingkungan sekitar (H C Triandis et al., 2004). Begitu pula dengan mantan napiter dan keluarganya. Dengan melihat konteks budaya, khususnya kolektivis, diharapkan program pengentasan terorisme di Indonesia dapat disusun tepat sasaran dan sesuai dengan konteks budaya masyarakat kita. Karena sejatinya pemerintah telah menghabiskan waktu lebih dari dua puluh tahun (sejak peristiwa bom Malam Natal tahun 2000 dan Bom Bali 1 tahun 2002), namun hingga sekarang aksi teror dan residivis masih juga terjadi. Peran dan keterlibatan warga dalam rehabilitasi teroris mulai terjadi di beberapa daerah. Studi pendahuluan telah dilakukan sebelumnya. Pemerintah desa Pegalangan Kidul kabupaten Probolinggo membuat program “Tali Hijau” untuk merangkul keluarga mantan napiter. Mereka membuat program pelatihan bagi keluarga napiter serta bekerja sama dengan pihak ketiga untuk memberikan modal usaha. Tidak hanya itu, ibu-ibu warga kampung setempat juga menggalang dana untuk dapat memberikan sejumlah uang sebagai tanda kepedulian pada keluarga napiter. Program serupa juga dilakukan di Malang dan DKI Jakarta. Keluarga pelaku merasa terharu dan berterima kasih pada warga sekitar. Mereka berharap suaminya dapat hidup normal jika kelak telah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Keluarga akan mempersuasi suaminya untuk meninggalkan cara kekerasan dan teror. Namun, belum terdapat bukti empiris keterlibatan masyarakat dalam perubahan ideologi mantan napiter. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan.

Item Type: Article
Subjects: 100 Filsafat dan Psikologi > 150 Psychology > 155 Differential and developmental psychology
Divisions: Karya Dosen
Depositing User: dosen dosen
Date Deposited: 11 Apr 2023 09:34
Last Modified: 14 Apr 2023 06:52
URI: http://eprints.iain-surakarta.ac.id/id/eprint/5144

Actions (login required)

View Item View Item